What time is it?

always smile

25 Desember 2007

Refleksi Akhir Tahun 2007

Refleksi Akhir Tahun
Beberapa tahun terakhir ini banyak sekali musibah menimpa negeri tercinta kita. Mulai dari ujung barat sampai ujung timur bencana melanda berantai tak berkesudahan. Mulai dari bencana internasional tsunami di Aceh, gempa di Bengkulu, Banjir di Ibu Kota, Tsunami di Pangandaran, Gempa di Jogjakarta, Merapi batuk, Lumpur Lapindo Sidoarjo, Gunung Kelud melahirkan, bentrok di berbagai wilayah bagian timur dan mewabahnya beragam penyakit di berbagai daerah. Luar biasa sekali. Tentu kita harus mampu menangkap apa yang tersirat dari semua kejadian tersebut. Akhir tahun 2007 adalah refleksi dari semua kejadian yang dialami negeri Indonesia tercinta ini. Mari kita mencoba merenung sejenak, hanya merenung tanpa tindakan apapun. Tidak terlalu berat karena seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa kita termasuk bangsa yang lamban bertindak sehingga akhir tahun ini kita khususkan untuk merenung saja. Tindakannya? Akhir tahun depan saja atau awal tahun depannya lagi. 2009? Yup. Waktu setahun untuk merenung tidak terlalu singkat juga tidak terlalu lama – parameter yang digunakan adalah menurut adat kebiasaan bangsa besar Indonesia –. Musibah – dalam pengertian bahwa musibah adalah bencana yang melanda, sesuatu yang tidak menyenangkan, sesuatu yang menyedihkan, sesuatu yang memilukan, dll – bisa kita kategorikan dalam tiga hal. Pertama, musibah disikapi sebagai ujian atau cobaan. Kategori ini dipakai manakala kita sudah berbuat baik semaksimal yang kita mampu, meninggalkan segala kemaksiatan, dan hal-hal yang membuat Tuhan murka. Jika kita bisa melampauinya dengan kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan imbalan pahala menanti kita – pernyataan ini dikhususkan bagi mereka yang percaya Tuhan – atau setidaknya dosa-dosa kita akan dihapus oleh-Nya. Kedua, musibah disikapi sebagai suatu peringatan. Kadang manusia sering lalai ketika diberi berbagai kenikmatan oleh Tuhan. Baik itu berupa harta benda, jabatan, istri atau apapun. Sehingga Tuhan perlu memberi sedikit teguran. Yang bersifat personal mungkin bisa berupa sakit, kehilangan sesuatu yang dicintai, atau sesuatu yang benar-benar membuat hati menjadi pilu. Musibah secara universal mungkin bisa diambilkan dari contoh di atas. Ketiga, musibah disikapi sebagai suatu azab atau siksaan. Manusia yang notabene adalah makhluk paling sempurna kadang-kadang – kalau tidak boleh dibilang selalu – melupakan keberadaan Tuhan atau yang paling ekstrem mengganggap Tuhan tidak ada. Akhir-akhir ini memang tidak sedikit manusia yang mencoba untuk mengacak-acak hukum Tuhan. Agama menjadi komoditi perbincangan yang dapat menghasilkan uang, atau agama dijadikan alat untuk mengklaim kebenaran. Kebenaran manusia bersifat relatif, kebenaran Tuhan bersifat mutlak itu sebenarnya yang mesti menjadi pegangan. Mungkin karena sifat kemaksiatan manusia yang sudah terakumulasi sehingga membuat Tuhan benar-benar murka dan perlu memberi pelajaran pada manusia sehingga yang lalai segera kembali. Kalau tidak kembali? Tentu Tuhan lebih tahu apa yang mesti dilakukan-Nya. Bisa jadi mereka dibuat lalai selalai-lalainya.

Jangan terlalu percaya diri bahwa kita termasuk kategori pertama dan jangan terlalu pesimis bahwa kita termasuk kategori ketiga. Mari kita menengok diri kita sendiri. Berkaca dan berkaca semua pasti akan terbaca. Tentu sebagai manusia biasa banyak khilaf yang telah kita perbuat, tentu banyak kesalahan yang perlu diperbaiki dan tentu masih banyak hal yang perlu dibenahi, minimal dari diri kita sendiri. Orang baik bukan orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, orang baik adalah orang yang sadar akan kesalahannya dan berusaha untuk memperbaiki. Tentu kita tidak ingin menjadi keledai, bukan? Karena hanya keledai yang akan masuk ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.

Ketintang, 25 Desember 2007 05.16 WIB

Tidak ada komentar: